Tuesday, August 26, 2008

I Weep For Myself

Mengutip dari perkataan bijak sabahat gua, "segala masalah dalam kehidupan itu bukanlah perkara 'benar dan tidak benar', melainkan perkara 'tepat dan tidak tepat', karena semuanya berhubungan dengan waktu". Segala sesuatu yang tidak tepat pada akhirnya akan membawa kita kejurang kesalahan, dan semakin jauh kita membawa 'ketidak-tepatan' itu, maka kondisinya akan semakin salah. Sialnya, disaat kita sudah 'mengerti' bahwa kita sedang berjalan di atas rel yang 'tidak tepat', ujung-ujungnya ya cuma; 'sampai kapan/sejauh apa kita bisa kuat dan tahan aja' - biasalah, kaya orang yang suka nahan-nahan boker, 'makin mepet-makin seru', ujung-ujungnya ya 'itu-itu' juga yang keluar. Cuma perkara waktu. Dan 'Another Fuckin' Reality' kalau rel yang tidak tepat itu adalah 'comfort zone' kita, dan rel itu bisa apa aja, siapa aja, dimana aja, kapan aja, dan gimana aja.

'Tidak-tepat' itu sendiri juga perkara waktu, ibarat nyetir mobil; blom saatnya belok kanan, eh malah belok duluan - atau sudah saatnya pindah gigi, eh masih aja di gigi tiga. Perkara waktu - kecepetan atau kelamaan, hal ini sering banget jadi masalah, dan biasanya berujung pada penyesalan, "duh harusnya dulu gua 'gini' tuh" - "akh gila, bener kan yang gua pikirin" - "kenapa ga dari dulu aja gua 'gini', tau gitu...". Didalam kancah liga anak muda, yang gini-gini sering banget terjadi.

Ketidak-tepatan didalam 'comfort zone' adalah sesuatu yang biasa aja, tapi ngeselin. Fenomena ini sering banget terjadi, dan kita pun sudah terbiasa mengalaminya. Ga perlu jauh-jauh - coba yuk kita tengok sedikit dua 'major' ke-anak mudaan; eksistensi dan tek-tek bengek percintaan. Dalam beberapa artikel sebelumnya seperti 'Anak Gaul Jakarta' dan 'Sahabat Bukan Pacar Bukan', telah dibahas sedikit mengenai hal ini. Anak muda dengan segala atribut 'persaingan' ternyata membuka peluang bagi si 'ketidak-tepatan' untuk merajarela.

Ajang persaingan dalam urusan eksistensi adalah hal yang sangat manusiawi, tapi kalau dipikir-pikir ternyata sangat komedi. Sering kali anak muda menemukan 'comfort zone'-nya didalam sebuah komunitas. Apapun itu komunitasnya, yang jelas hal ini sangat berpengaruh terhadap perilakunya masing-masing. Tidak mungkin ada 'sesuatu' ('pria jantan + asik' pake scarf 'salahudin' + jaket kulit + kaca mata 'kotak frame hitam' + sepatu boots - atau, gerombolan wanita yang saking santainya pake 'baju pantai' ke mall, 'tapi tetep pake scarf') kalau tidak ada komunitas yang memulainya, dan komunitas yang menganggap hal tersebut adalah sesuatu yang 'keren dan wajar'.

Peran komunitas sangat besar bagi seseorang, dan 'comfort zone' mungkin dimulai ketika dengan tanpa disadari kita merasa telah menjadi bagian dari sistim/siklus dalam komunitas tersebut. Terlebih lagi bila komunitas-nya telah menilai orang itu sebagai 'seseorang'; "wah, dia sih emang idealis, pinter banget" - "wah, dia emang gesrek parah, mabok mulu" - "dia cantik banget, cowonya juga ganteng" - "wah, orang-orang itu emang selara musiknya beda banget" - "hebat ya dia, bisa kerja di perusahaan itu" - "gila hebat banget, masih muda udah pameran tunggal" - "dia sih udah enak, gaji nya gede banget" - "emang anak band banget nih orang" dll. Terkadang opini-opini seperti itulah yang membuat 'comfort zone' kita semakin meraja. Ada semacam tanggung jawab untuk mempertahankan predikat tersebut, karena identitas itulah yang diketahui orang-orang, dan dengan itu kita bisa merasa 'lebih' dibanding orang lain. Disaat itu, perkara 'tepat' dan 'tidak tepat' bukanlah suatu masalah, karena tidak ada yang tahu selain kita sendiri - walaupun banyak banget pertanyaan didalam hati, seperti; "sampai kapan gua jadi anak band?" - "sampai kapan gua mabok-mabokan?" - "sampai kapan gua kerja dikantor bagus ini?" - "sampai kapan gua freelance?" - "sampai kapan gua minta duit ke bokap?" - "sampai kapan gua kuliah?" - "sampai kapan harus beli tas chanel yang mahal ini terus?" - "sampai kapan gua harus mikirin velg mobil?" - "sampai kapan gua harus dengerin lagu-lagu yang gua ga suka?" - "sampai kapan gua harus dandan nyentrik?" - "bla bla bla?". Segitu hebatnya peran komunitas, sehingga sering timbul pertanyaan-pertanyaan 'pendek tapi berat' seperti itu. Tema eksistensi memang selalu banyak cerita.

Berjalan dan menari diatas rel yang 'pasti' adalah suatu anugerah, karena tidak semua orang punya akses untuk rel seperti itu. Tetapi apakah hal yang pasti itu adalah jalur yang tepat? belum tentu. Berbicara pada saluran 'hati' memang jauh lebih mudah dari pada harus bertindak. Saking sulitnya bertindak, tanpa disadari sebenarnya kita sedang berhadapan dengan 'waktu', satu-satunya hal eksak di bumi selain uang. Dan karena ulah si 'waktu', perkara 'hati' dalam 'comfort zone' biasanya semakin rumit. Terlalu lama atau terlalu cepatnya dialog antara hati dengan otak, bukanlah suatu ukuran pasti yang akan membawa sesuatu menjadi 'tepat'. Disaat kita nyaman dengan suatu kondisi - apapun itu/siapa pun itu - biasanya 'peduli setan' walaupun ada petir samping kuping, atau ada anjing pitbull depan mata - semuanya ga kedengeran, semuanya ga kelihatan. Semua itu ga ada apa-apanya dibanding nilai rasa nyaman yang lagi kita rasakan. Tapi disaat hati dan otak mulai kompromi, dengan mudah terkadang kita tahu bahwa yang sedang kita pertahankan itu adalah sesuatu yang tidak tepat. Dan ngomong-ngomong perkara 'waktu', pertanyaannya adalah; "sampai kapan kita akan membawa 'ketidak-tepatan' itu?".

Banyak sekali pembelaan yang kita rangkai hanya untuk terlihat 'tepat'. Selalu berlindung dibalik kata 'hati' / berlindung dibalik kata 'kriteria' / berlindung pada anggapan, harapan, dan 'mencoba/memberi kesempatan kedua', dll - ketika kita mengerti bahwa pasangan kita tidak seperti yang kita butuhkan, ketika kita berfikir bahwa kita layak untuk mendapatkan orang yang lebih baik dari 'dia', ketika kita 'terlanjur sayang' pada orang yang salah, ketika kondisi tidak memungkinkan untuk terus 'berjalan'. Kondisi itu kita pertahankan dengan segala pembelaan untuk meyakinkan orang lain bahwa kita sedang melakukan hal yang tepat. Seakan pikiran telah jauh berlari sementara 'fisiknya' tidak bergerak sedikitpun - atau layaknya orang yang berenang di pantai dan melihat sirip ikah hiu menuju kearahnya, tapi doi berenang gaya punggung sambil siul-siul. 'Keenakan', atau bahasa 'dangdutnya' terlena. Atau boleh ngga kalau gua bilang sebenernya kita 'terlalu takut' untuk mengambil sebuah resiko - terlalu takut untuk 'kehilangan' - terlalu takut untuk 'memulai lagi' - terlalu takut untuk 'berbeda pandangan dengan orang lain' - terlalu takut untuk sama seperti orang lain - terlalu takut untuk 'dikucilkan komunitas' - terlalu takut untuk 'sendiri' - terlalu takut untuk 'terlalu takut' - terlalu takut untuk 'tidak tepat'. Mungkin kalau orang yang masih skeptis, bilangnya; "gua bukannya takut, tapi males", a.k.a 'sama aja'.

Pernah ga Lo liat, let say temen SMA deh.. dulunya ngeband di PENSI, gondrong, lulus SMA bareng, beler, jago brantem (katanya), ngomongin politik, ngakalin cewe mulu, dll - suatu saat Lo ketemu lagi dan ngobrol banyak. Dari terakhir Lo ketemu dia 5 tahun yang lalu, kondisi doi masih sama persis, cuma bedanya kalau dulu main di PENSI, sekarang mulai tertarik nge-DJ. Atau, ketika Lo berperan jadi temen curhat yang baik, temen Lo mewek abis-abisan gara-gara (katanya) cowonya bajingan - dia ini itu ini itu ngak ngak nguk nguk,,, dan 3 bulan kemudian doi telepon Lo lagi ngulang cerita yang sama dengan cowo yang sama. Atau, ketika Lo punya segudang cita-cita dan 'kayaknya' memang tau gimana caranya untuk sampai ke situ, tapi disaat kembali ke 'dunia nyata' ternyata skripsi Lo yang ditunda-tunda mulu itu blom juga dimulai. Ibarat baris mungkin itu yang namanya 'istirahat ditempat'. Sering banget kita lihat orang yang kenceng banget perjalanan hidupnya, padahal dulu mulainya bareng. Banyak kita lihat 'teman sebangku' yang sekarang udah bisa beli mobil sendiri - bisa berkarya dan punya 'nama' - bisa punya hubungan serius dan berani untuk menikah, dll. Hehehe,, pertanyaan besar dari hal ini mungkin; "anjing, gua ngapain aja selama ini?". Kalo kata buku Taxi Driver Wisdom, "If someone get rich, I do not cheer for them. I weep for myself".

Tapi dibalik itu semua, kita selalu mikir kalau itu cuma impian. Ujung-ujungnya kita biasanya memilih untuk sesuatu yang 'pasti-pasti aja'. Ga ada yang salah dengan itu. Ya maklum aja, namanya juga obrolan iseng - cuma iseng doang mikir; "mungkin ga ya kalau gua berhenti ngeband, kali aja kuliah gua bisa beres?" - "mungkin ga ya kalau gua cari kerjaan yang bener, kali aja gua bisa nabung?" - "mungkin ga ya kalau gua pindah kantor, kali aja gaji gua lebih bagus?" - "mungkin ga ya kalau gua putusin 'dia', kali aja pacar baru bisa bikin gua lebih seneng?" - "mungkin ga ya kalau gua bla bla bla, kali aja gua bisa bla bla bla?". Jadi, kapan dong bisa berubah, berubah jadi orang yang ada di pikiran kita masing-masing.

Kayaknya udah terlalu capek buat nyalahin nasib yah, bukan nasib soalnya yang jadi masalah, tapi kita emang sama sekali ga bergerak. Comfort zone emang ternyata berbahaya, karena punya musuh yang namanya, waktu. Tapi lagi-lagi ada pertanyaan besar; "kapan gua bisa bilang sekarang waktu yang tepat?", dan "kapan gua bisa bilang sekarang belum saatnya?". Kalau kata Mario Teguh, "ga ada orang yang bisa 'sampai' hanya karena pikirannya, jadi bertindaklah". Tapi kalau kata Another Fuckin' Reality, "ngopi dulu aahhh" - kali aja klo udah ngopi pikiran jadi lebih jernih - dan jadi bisa bilang; "If it has to be, it is up to me".

Saturday, June 28, 2008

Sahabat Bukan Pacar Bukan

Didalam kamus 'pergaulan' Jakarta, kita biasa denger istilah; teman, sahabat, sobat (sob), brader (bro), 'bos' (temen baru kenal yang lupa namanya), dll. Selain itu ditingkat yang paling intim kita sudah sangat mengenal istilah 'pacar' - teman yang berbeda jenis kelamin (hmm... anggap aja gitu dulu), teman yang sama-sama ngaku doyan, temen yang saking akrabnya sampe harus kenal baik keluarga masing-masing, teman cerita, teman ngeluh, teman berbagi (berbagi perasaan, berbagi kepuasan, berbagi pengalaman, berbagi cairan), dll. Sebenarnya ada yang terlewat dirantai ini. Dalam beberapa kasus 'pengondisian', lahirlah pengertian baru di antara tahapan hubungan sahabat dan pacar. Bahasa gampangnya; "dibilang sahabat, lebih.. dibilang pacar, bukan".

Emang serba salah sih ya kalau punya sahabat lain jenis. Sebenernya sangat lumrah dan sangat tidak bermasalah, tapi kalau udah diselipin perasaan 'aneh-aneh' jadinya rancu. Another Fuckin' Reality kalau lo punya perasaan 'sayang' sama sahabat sendiri. Rasanya ga jelas banget. Kaya siang-siang panas terus pake jaket - sesuatu yang sama sekali ga perlu tapi dilakukan juga (duh ngapain sih gua pake jaket, tai). 'Serba salah', mungkin itu kata yang paling tepat buat kasus kaya gini. Karena yang namanya perasaaan ga pernah bisa disalahin, hanya mungkin kondisinya aja yang kurang tepat. Dan dilemanya adalah; "kalau berhasil, bagus... kalau gagal, gua bakal kehilangan sahabat terbaik". Dalam beberapa kasus, banyak kok yang berhasil - karena saling mengenal, jadi hubungannya baik sekali - cuma perkara waktu buat pengakuan aja, dan itu adalah saat yang terberat. Tapi jangan salah, tetep aja yang namanya pacaran pasti ada ujungnya - dan kalau ujungnya gagal artinya kita kehilangan pacar dan sahabat (combo). Yaa walaupun ga semuanya berakhir seperti itu.

Dilihat dari perspektif yang berbeda, banyak kasus yang berawal dari kejadian 'kasih tak sampai'. Banyak seorang muda/mudi yang mengakui kekagumannya terhadap sahabatnya tanpa tindakan memaksa/meminta untuk menjadi seorang pacar, mungkin karena keadaan yang tidak memungkinkan. Entah itu karena sang sahabat sudah mempunyai pacar, atau karena alesan lain seperti; "aduh, trimakasih udah mau jujur, tapi,,gua emang ga punya perasaan lebih dari seorang sahabat untuk lo..maaf yahh,, tapi kita masih sahabatan kan?". Maksudnya, dengan adanya statment seperti itu (pengakuan & penolakan), definisi sahabat yang seharusnya, telah bergeser ke tahap selanjutnya. Sebuah tahapan yang lebih intim dari sekedar sahabat, tapi juga bukan seorang pacar. Dan yang namanya anak muda, makhluk paling 'kreatif' di muka bumi ini - mereka dengan asiknya menganggap hubungan ini adalah hubungan kakak-adik (biasanya sang pria jadi 'kakak', dan sang perempuan jadi 'adik). Pada akhirnya hal inilah yang menjadi kerancuan. Tapi ya balik lagi, karena hubungan ini lebih dari hubungan sahabat, jadi batasan porsinya pun kurang jelas. Tapi yang jelas, hubungan ini lebih melibatkan sisi emosional dari masing-masing orangnya, dan biasanya ribet banget (yang harusnya ga ribet, jadi ribet). Terlebih lagi kalau salah satu dari mereka memutuskan untuk berhubungan serius dengan orang lain.

Itu tadi kasus yang murni, maksudnya; murni perasaan sayang. Kekaguman kita terhadap sahabat lawan jenis bisa dari berbagai sektor. Ada yang kagum karena kepintaran, atau hanya sekedar "orangnya enak buat diajak gila-gilaan". Tapi ada juga nih 'kasus bulus' (yaaa namanya juga anak muda). Disaat birahi berbicara lebih kencang ketimbang nurani, jadinya ya kaya gini nih. Oportunis, sambil menyelam minum air. Dan itu bisa sama sekali ga kliatan. Karena emang dasar deh yang namanya anak muda, ada aja akal-akalannya. Berlindung dibalik kata 'sahabat', mereka bisa melakukan apa saja. Karena sahabat deket, maka adegan-adegan gelayutan, cium-cium kecil, peluk-peluk mesra, 'stand pensi' (meluk berdiri dari belakang), dll, adalah hal yang sangat biasa - padahal detak jantung udah kenceng banget, dan hal itu emang yang ditunggu-tunggu. Dan kocaknya, hal ini sebeneranya sangat sangat sangat sangat disadari oleh kedua sahabat tersebut. Yang perempuan pasti tau laaah kalau 'si joni' sahabatnya mulai beraksi dikit-dikit. Dan si sahabat pria juga pasti ngerti laaah; "wah.. kok doi cuek-cuek aja?loh kok malah ngedeket, bisa nih berarti!". Hal ini ga pernah dibahas gamblang diantara mereka berdua, hanya sebatas tau sama tau (lapan anam). "yesterday is history, tomorrow is mistery, but today is a give, thats why we call it present (tense)". Jadi wajar banget kalau ada kasus; orang cemburu sama sahabat pacarnya, soalnya orang itu sendiri juga kaya gitu.

Naaah,, yang bahaya sebenernya adalah kejadian yang tidak terduga. Contohnya; udah yakin banget nih 'bisa', trus tahaaan,,tahaaan,, nunggu sampe momen yang pas... tahaaan duluu,,, akhirnya pas banget,,suasana sepi, gelap, intim, dekat, yakin,,, pas mau 'hajar',,,, "ihhhh lo apa-apaan sih! nggak, nggak ah, nggak mau kaya gini", paling jawabannya cuma; "eeerrh..eh,, sori-sori..gua lagi, gua kebawa suasana..maaf ngga lagi-lagi,,aduh.. abis gua pikir td lo juga,,mau". Jlegerrrrr.... Maksudnya disini, ini adalah saat-saat gambling - situasi yang sangat tidak pasti - situasi yang 'yaudah'/gimana nanti. Dan ini banyak sekali terjadi pada hubungan persahabatan dimana saja, dan biasanya berakhir dengan tidak baik. Tapi kan namanya juga sahabat,,udah lah lupain aja...

Hubungan sahabat-pacar ini memang selalu menjadi dilema. Disatu sisi, kita ga bisa nyalahin perasaan suka/sayang/apalah itu. Disisi lain, tetap yang namanya sahabat adalah teman hidup - kadang-kadang sisi emosinya melebihi porsi untuk pacar bahkan orang tua. Jadi seharusnya ada rasa tanggung jawab untuk terus membina hubungan yang sehat. Another Fuckin' Reality ketika kita dihadapkan pada dilema itu. Tapi ya sekali lagi,, namanya juga anak muda, oportunis dikit ga apa-apa laaahh.. ga rugi juga kan,,itung-itung berbagi pengalaman (ngeles aaaje). I enjoy fireworks but stars are nice too.

Monday, March 10, 2008

Kita Semua Bajingan

Another Fuckin' Reality versi 'Kita Semua Bajingan' ini total ngomongin pria-pria sedunia, dan mungkin ini kabar buruk buat para 'wanita dimana saja kamu berada, sayaang..'. Bukan sesuatu yang baru, dan mungkin lo semua udah pada tau/denger sebelumnya hal ini. Banyak perempuan bilang "laki-laki semua bajingan", basi yaa.. Tapi yang pasti, kalimat itu keluar karena 'mereka' pernah punya hubungan yang kacau / pernah 'disakitin' sama pacarnya. Relatif! 'Disakitin' itu realtif karena versinya macam-macam. Ada yang perkara fisik, ada juga yang perkara selingkuh, atau ada juga perkara yang sama sekali tidak penting seperti 'terlalu cuek', dan itu semua yang menjadi tersangka adalah 'si pria'. Ini mungkin sudah menjadi hukum alam atau entah apa itu namanya, tapi itu semua adalah pilihan untuk para wanita, bahwa pria manapun yang 'kau' pilih, mereka semua bajingan.

Dengan landasan teori 'sok tau', pria-pria dimana saja dapat dikategorikan menjadi empat jenis. Jenis pertama adalah 'pria bajingan', jenis kedua adalah 'pria bajingan berperasaan', jenis ketiga adalah 'pria bajingan tengik', dan apabila anda (para pria) tidak merasa seperti ketiga jenis tersebut, artinya anda 'gay'. So guys, stop trying to be nice. Thats a fact, thats what we are, and thats a very 'Another Fuckin' Reality'.

Dari keempat jenis pria tersebut, sebenarnya yang membedakaannya cuma kadar 'kebajingannya' saja. Jenis pertama, 'Pria Bajingan' itu adalah sebutan buat pria-pria paling baik sedunia. Pria-pria yang ga pernah 'macem-macem', maksudnya pria yang dalam visulanya 'tidak membahayakan'. Bingung ya..? Gini deh, lo pasti punyalah temen cowok yang waktu SMA/ospek mahasiswa paling jarang 'kena' sama seniornya karena tidak mencolok, atau juga temen cowok yang berparas lucu dan biasanya pake kaos dimasukin ke celananya yang dipakai diatas puser trus pake iket pinggang kulit dan sepatu sporti. Nah ngerti kan..? Itu yang maksud gua bervisual 'tidak membahayakan' (gampang dipalak). Teman-teman kita itu 'seolah' ga peduli sama urusan sosial khususnya 'perempuan'. Kalau boleh gua sok tau, 'kayanya' yang dipikirin mereka cuma belajar, games, american idol, infotainment, komik, dan yaa gitu lah. Tapi ntar dulu, yang kaya gitu kenapa bajingan? Istilahnya jika gua perempuan, gua bakal 'feel free' kalau harus nginep dirumahnya walaupun baju gua abis keujanan, karena gua yakin bakal selamat 100%. Sepolos apapun mereka, 'cowok' punya yang namanya naluri 'kejantanan' (rasa untuk INGIN), dan itu sifatnya 'given'. Dengan muka yang kayanya biasa aja dan jauh dari anggapan kita, sebenarnya mereka berfikir sangat kritis tentang 'apa yang dibalik rok tipis itu', atau 'andaikan gua jadi sabun mandinya'. Tidak pernah terlihat karena itu semua ada di dalam kepalanya, dan alhasil 'berakhir di kamar mandi'. Bajingan bukan cuma karena pikirannya, tapi juga karena yang ada dipikirannya bisa disaat kapan saja, dan orang yang ada pikirannya bisa siapa saja walaupun ada didepan mukanya. Dan yang paling 'bajingan' karena mereka begitu dengan atribut sebagai 'anak baik'. Jadi itulah tipe 'pria bajingan'.

Lain lagi dengan jenis 'pria bajingan berperasaan'. Jenis ini dapat dibilang normalnya seorang pria, kenapa? Karena sebagai seorang 'pria'/laki-laki, walaupun punya otot dan otak, kalau ga ada perasaan jadinya ya binatang. Pria 'asik' sampe yang 'ga terlalu asik' termasuk di jenis ini, alias kebanyakan pria yang beredar dipasaran ya yang kaya gini ini. Berawal dari 'bajingan' (sepert yang telah dijelaskan diatas), setelah mereka mengenal dunia dan kembali ke hati masing-masing, maka sampailah dia kepada karakter 'bajingan berperasaan'. Maksudnya, mereka mengakui 'sekali' ketertarikannya dengan wanita. Dari hal inilah datangnya usaha-usaha untuk menarik perhatian wanita, dan ini juga yang akhirnya melahirkan sebagian orang-orang 'asik' dimana saja. Disini mereka mempunyai 'perasaan' untuk mencoba masuk kepada apa yang wanita inginkan dari seorang pria, dan mencoba memahami apa yang wanita tidak suka dari seorang pria. Itulah asal mula lahirnya kata 'perasaan' pada seorang 'bajingan', dan hal ini adalah sebuah kemajuan. Tapi setelah mereka akhirnya mendapatkan wanitanya, apa kabar tuh naluri kejantanannya? Sekarang kita bermain 'misalnya'. "Seorang pria mempunyai hubungan yang baik dengan pacarnya, lalu dia pergi kesebuah klub bersama teman-temanya dan berakhir dikamar mandi dengan seorang wanita alias (one night stand), dan besoknya dia kembali ke pacarnya dan bertindak seolah tidak terjadi apa-apa semalam". Dari cerita 'misalnya' itu, dapat kita tarik beberapa kesimpulan; pertama, pria ini jelas seorang bajingan; kedua, pria ini jelas mempunyai 'perasaan'? Yaa,,perasaan ini sangat baik, baik untuk dia, untuk pacarnya, untuk cewek 'kamar mandinya', untuk teman-temannya, untuk semuanya. Kenapa? Yuk kita teliti,,, pria ini pasti sayang banget sama pacarnya dan dia juga punya kesadaran untuk bareng teman-temannya, baik kan? Lalu pria ini menarik sehingga bisa dapet cewek di klub, dan karena dia tau cewek tersebut 'ingin', maka dia pun meladeninya. Besoknya, karena dia punya 'perasaan untuk tidak ingin menyakiti pacarnya', dia berbohong dan bilang semalam hanya pergi kerumah sahabatnya trus pergi sebentar ke Circle K. Alhasil every body happy! Ya itulah kira-kira sosok 'pria bajingan berperasaan'.

Masuk ketahap selanjutnya yaitu 'pria bajingan tengik'. Nah, kalau ini sih rajanya kuman. Istilahnya segala macem penyakit kemanusiaan sampe ke penyakit kelamin ada di jenis pria ini. Sebut saja semua yang tidak berperasaan deh; brutal, doyan nampar cewek, hobi gonta-ganti pacar (nyakitin perasaan pacarnya), penjahat kelamin, hobinya gang bang, morotin pacarnya yang tajir (ada udang dibalik batu), dan lain-lain. Ngertikan yaahh..? Dan jenis ini banyak banget didunia, apa lagi di kota-kota besar seperti Jakarta salah satunya. Ciri-ciri khususnya tidak ada, mau dari om-om, kutu buku, sampai anak gaul Jakarta bisa saja masuk di kategori ini. Gua ga bilang jenis ini 'najis' atau brengsek, atau apapun, yang jelas untuk kategori bajingan, jenis 'pria bajingan tengik' ini mendapatkan urutan 'teratas'. Tapi bukan berarti paling jantan juga.

Jadi itulah dia pria-pria di dunia. Untuk para wanita, maaf... tapi pacarmu itu bajingan. Dan kalau berniat cari pacar lain, maaf... mereka juga bajingan. Intinya siapapun yang kau pilih sayaang,, mereka bajingan.. Jadi terima aja. Dan untuk para pria, hauwehauehauhea... SALAM BAJINGAN! yang tidak jawab berarti gay..! Lo tinggal milih, termasuk bajingan yang mana kah anda? yang jelas semua jenis itu sangat mungkin kita jalani sebagai pria, dan jangan berkecil hati dan usaha terlalu keras untuk jadi pria yang 'baik', karena ujung-ujungnya tetep aja 'mereka' bilang,, "DASAR KAMU BAJINGAN..!" , "tapi aku sayang kamu..." heuwheuah... buat wanita dan pria dimana pun kau berada, face it, because this is Another Fuckin' Reality.

Wednesday, February 6, 2008

Anak Gaul Jakarta

Mungkin aga basi, tapi hal ini emang ga pernah abis untuk dibahas, dan 'mereka' kayanya emang pengen banget dibahas. Kalau Lo emang orang-orang yang tinggal di Jakarta, dengan kesadaran penuh Lo pasti akan menemukan banyak banget pemandangan ini,,,

Yaa,, 'anak gaul jakarta', another fuckin' reality yang awalnya 'ga biasa' sampe akhirnya jadi 'biasa aja' liatnya. Definisi kata 'anak gaul' itu sendiri emang ga pernah jelas dalam perkara ini. Biasa lah, orang Indonesia saking pinternya emang paling jago bikin kosa kata baru, semuanya berdasarkan kesepakatan bersama. Yang pasti buat gua, 'anak gaul' adalah anak-anak yang punya masalah sama kedewasaan perilaku.

Sebenernya wajar dan bukan masalah. Berdasarkan pengalaman sendiri, diumur seperti 'mereka' emang butuh pergaulan untuk berbagai pengakuan (orientasinya untuk diakui), dan itu sebuah proses yang pasti dialamin semua orang, walaupun sangat mengganggu. Tapi kayanya sekarang hal ini udah ga wajar! Sumpah paling males liat 'anak kecil' yang belaga gede. 'Mereka' bisa kaya gitu cuma dengan pake baju kaya orang gede atau dengerin musik dan nonton film yang sama kaya orang gede! Tapi ga bisa disalahin juga sih,, sekarang mana ada film buat anak-anak di Indonesia.. mana ada artis cilik yang kaya 'artis cilik', semuanya maen sinetron ga penting.. dan udah ga ada lagi tuh lagu-lagu anak kecil, kayanya Papa T Bob udah minder sama The Upstairs. Jadi salah tuh kalau Lo bilang MTV gua banget...yang ada MTV gaul banget..

Jakartaaaa jakarta.. emang-emangan dah, dari segini gedenya kota, yang rame paling cuma itu-itu aja. Sebut aja Kemang, Pim, Citos, dan Mall-Mall kebanggaan Jakarta lainnya. Bohong besar kalau Lo ga liat gerombolan celana cucut atau baju cardigan tabrak warna disana. Niatnya sih 'be your self', tapi yang ada itu jadi seragam, konsepnya persis kaya satpam Mall. susseeeh...

Itu tadi perkara anak-anak dibawah umur. Tapi jangan salah, yang udah pada tuwir juga banyak banget yang masih kebawa 'gaul'. Kalau anak sekolahan bisa ngerti deh gua, nah ini.. Dan biasanya 'mereka' lebih 'asik' dari pada yang ABG. Nah..Kalau 'anak gaul' yang tuwir beda lagi tuh kebiasaannya. 'Mereka' ga mau dibilang gaul dan biasanya agak-agak 'denial'. Bilangnya males ke PIM katanya banyak anak gaul, eh yang ada berangkat agak malem trus 'clubbing'. "Wwoooohh GOKIL SOKIL MOKIL GOOOOBBB", "anjing gua BA'OK GILAA..", terus balik shubuh dan ujung-ujungnya maen facebook sambil MSNan ngomongin gebetan. Hampir setiap minggu!

Itu anak-anak club, tapi ada juga yang ngakunya agak-agak idealis, dan ini ga kalah ancur sebenernya, cuma beda pintu doang..Karena udah jadi pembicaraan banyak orang tentang 'anak gaul Jakarta', para kelompok idealis ini nyela 'mereka' gila-gilaan, termasuk nyelain 'tim dustak' (pecinta clubbing). 'Mereka' bilang orang-orang itu (anak gaul) bisanya cuma ikut-ikutan trend, dan kalau zaman berubah, mereka juga bakal berubah lagi. Ya, emang bener banget. Jadi kelompok idealis ini kaya terisolasi alias sangat anti dengan acara hura-hura, dan skeptis ga jelas. Itu kemajuan, setidaknya ada kesadaran untuk tidak seperti 'mereka'. Tapi celakanya, didalam kelompok ini ternyata banyak banget yang berjiwa 'gaul Jakarta'. Dengan modal punya iPod yang isinya band-band indie luar maupun dalem negri, 'mereka' seakan ngerasa "nih, ini baru ga ikut-ikutan", padahal itu lagu hasil ngebajak iTunes temennya, dan ga didenger semua juga. Ngakunya doyan dan gayanya belaga fanatik anak band dengan celana cucut dan rambut gondrong modis terus nogkrong di AKSARA dan ngobrol pake bahasa campur aduk. Atau datengin pameran-pameran kecil yang berseni tinggi dengan tujuan masuk majalah indie gara-gara bajunya keren. Atau juga dengan modal kamera DSLR dan photoshop trus semua orang pengen jadi fotografer. Itulan 'anak gaul Jakarta' yang ngakunya anti gaul dan idealis. Konsepnya ya sama persis sama anak-anak sekolahan, ngikutin pergerakan kelompoknya dengan dasar pengakuan dari kelompoknya sendiri.

Disini gua sebenernya sangat prihatin sama berbagai pihak yang jadi korbannya 'anak gaul Jakarta'. Contohnya seperti para pekerja-pekerja profesional yang dekat dengan eksistensi anak gaul. Sebut saja seperti para musisi yang bekerja keras memenangkan ide-ide murninya dengan jalur independent, atau juga para fotografer-fografer muda yang baru saja ingin mantap dengan karirnya, atau juga dengan para DJ dan puluhan event organizer, atau juga dengan para pecinta seni, film, dan musik serta para anak-anak yang berpotensi jadi anak gaul. Sadar dan tidak sadar, mereka-mereka ini adalah korban setia para 'anak gaul Jakarta'. Bayangkan saja, musisi-musisi Indie (benar-benar musisi) yang telah mati-matian berkarya dengan duit seadanya pada akhirnya menjadi santapan empuk 'anak gaul' sehinga band mereka di cap band musiman oleh masyarakat waras. Selain itu band-band major label yang kalau kata 'anak gaul' sih 'cupu' jadi beneran cupu bagi sebagian masyarakat Jakarta, padahal ga segitunya juga, apalagi kalau diliat dari prestasi mereka buat musik Indonesia. Sempit..! Pikiran 'anak gaul' karena fanatik dengan sebuah kelompok atau zaman menjadikan mereka ga bisa mikir, dan skeptis bodoh (menilai sebelum melihat & meraba sebelum bertanya). Selain para musisi, ya itu tadi, para pekerja jasa kaya desainer dan fotografer. Yang fotografer beneran kan males kalau dibilang kerjaan mereka kerjaan zamanan, atau yang desainer beneran juga pasti pada gerah kalau dengerin 'anak gaul bodoh' yang ngomongin rumah minimalis dan pop art mulu. Atau juga para orang-orang waras yang emang pengen ngumpul di kafe / dimana pun pasti begah kalau di meja sebelah ada anak-anak gaul yang teriak-teriak ngomongin mabokan, extasy lah, sanax lah, halime lah, rave party lah, what ever..! Dan yang paling kasian ya anak muda yang berpotensi kuat ketularan gaul gara-gara lingkungan kotanya kaya gini.

Tapi ya seperti inilah Jakarta. Bener banget tuh yang bilang Jakarta kota keras...Serba salah, mau sebel sama yang ginian, tapi ya kita emang hidup di lingkungan yang udah kaya gini..Mau pro 'anak gaul' ga mungkin juga karena ngapain gua susah-susah nulis ginian. Jadi ya terima aja lah, jangan ngeluh mulu..Yang pasti ini realita yang harus kita alamin sebagai warga Jakarta, dan karena itu gua tulis semua ini dan gua anggap sebagai........
ANOTHER FUCKIN' REALITY.

Ibam Arafi.