Tuesday, August 26, 2008

I Weep For Myself

Mengutip dari perkataan bijak sabahat gua, "segala masalah dalam kehidupan itu bukanlah perkara 'benar dan tidak benar', melainkan perkara 'tepat dan tidak tepat', karena semuanya berhubungan dengan waktu". Segala sesuatu yang tidak tepat pada akhirnya akan membawa kita kejurang kesalahan, dan semakin jauh kita membawa 'ketidak-tepatan' itu, maka kondisinya akan semakin salah. Sialnya, disaat kita sudah 'mengerti' bahwa kita sedang berjalan di atas rel yang 'tidak tepat', ujung-ujungnya ya cuma; 'sampai kapan/sejauh apa kita bisa kuat dan tahan aja' - biasalah, kaya orang yang suka nahan-nahan boker, 'makin mepet-makin seru', ujung-ujungnya ya 'itu-itu' juga yang keluar. Cuma perkara waktu. Dan 'Another Fuckin' Reality' kalau rel yang tidak tepat itu adalah 'comfort zone' kita, dan rel itu bisa apa aja, siapa aja, dimana aja, kapan aja, dan gimana aja.

'Tidak-tepat' itu sendiri juga perkara waktu, ibarat nyetir mobil; blom saatnya belok kanan, eh malah belok duluan - atau sudah saatnya pindah gigi, eh masih aja di gigi tiga. Perkara waktu - kecepetan atau kelamaan, hal ini sering banget jadi masalah, dan biasanya berujung pada penyesalan, "duh harusnya dulu gua 'gini' tuh" - "akh gila, bener kan yang gua pikirin" - "kenapa ga dari dulu aja gua 'gini', tau gitu...". Didalam kancah liga anak muda, yang gini-gini sering banget terjadi.

Ketidak-tepatan didalam 'comfort zone' adalah sesuatu yang biasa aja, tapi ngeselin. Fenomena ini sering banget terjadi, dan kita pun sudah terbiasa mengalaminya. Ga perlu jauh-jauh - coba yuk kita tengok sedikit dua 'major' ke-anak mudaan; eksistensi dan tek-tek bengek percintaan. Dalam beberapa artikel sebelumnya seperti 'Anak Gaul Jakarta' dan 'Sahabat Bukan Pacar Bukan', telah dibahas sedikit mengenai hal ini. Anak muda dengan segala atribut 'persaingan' ternyata membuka peluang bagi si 'ketidak-tepatan' untuk merajarela.

Ajang persaingan dalam urusan eksistensi adalah hal yang sangat manusiawi, tapi kalau dipikir-pikir ternyata sangat komedi. Sering kali anak muda menemukan 'comfort zone'-nya didalam sebuah komunitas. Apapun itu komunitasnya, yang jelas hal ini sangat berpengaruh terhadap perilakunya masing-masing. Tidak mungkin ada 'sesuatu' ('pria jantan + asik' pake scarf 'salahudin' + jaket kulit + kaca mata 'kotak frame hitam' + sepatu boots - atau, gerombolan wanita yang saking santainya pake 'baju pantai' ke mall, 'tapi tetep pake scarf') kalau tidak ada komunitas yang memulainya, dan komunitas yang menganggap hal tersebut adalah sesuatu yang 'keren dan wajar'.

Peran komunitas sangat besar bagi seseorang, dan 'comfort zone' mungkin dimulai ketika dengan tanpa disadari kita merasa telah menjadi bagian dari sistim/siklus dalam komunitas tersebut. Terlebih lagi bila komunitas-nya telah menilai orang itu sebagai 'seseorang'; "wah, dia sih emang idealis, pinter banget" - "wah, dia emang gesrek parah, mabok mulu" - "dia cantik banget, cowonya juga ganteng" - "wah, orang-orang itu emang selara musiknya beda banget" - "hebat ya dia, bisa kerja di perusahaan itu" - "gila hebat banget, masih muda udah pameran tunggal" - "dia sih udah enak, gaji nya gede banget" - "emang anak band banget nih orang" dll. Terkadang opini-opini seperti itulah yang membuat 'comfort zone' kita semakin meraja. Ada semacam tanggung jawab untuk mempertahankan predikat tersebut, karena identitas itulah yang diketahui orang-orang, dan dengan itu kita bisa merasa 'lebih' dibanding orang lain. Disaat itu, perkara 'tepat' dan 'tidak tepat' bukanlah suatu masalah, karena tidak ada yang tahu selain kita sendiri - walaupun banyak banget pertanyaan didalam hati, seperti; "sampai kapan gua jadi anak band?" - "sampai kapan gua mabok-mabokan?" - "sampai kapan gua kerja dikantor bagus ini?" - "sampai kapan gua freelance?" - "sampai kapan gua minta duit ke bokap?" - "sampai kapan gua kuliah?" - "sampai kapan harus beli tas chanel yang mahal ini terus?" - "sampai kapan gua harus mikirin velg mobil?" - "sampai kapan gua harus dengerin lagu-lagu yang gua ga suka?" - "sampai kapan gua harus dandan nyentrik?" - "bla bla bla?". Segitu hebatnya peran komunitas, sehingga sering timbul pertanyaan-pertanyaan 'pendek tapi berat' seperti itu. Tema eksistensi memang selalu banyak cerita.

Berjalan dan menari diatas rel yang 'pasti' adalah suatu anugerah, karena tidak semua orang punya akses untuk rel seperti itu. Tetapi apakah hal yang pasti itu adalah jalur yang tepat? belum tentu. Berbicara pada saluran 'hati' memang jauh lebih mudah dari pada harus bertindak. Saking sulitnya bertindak, tanpa disadari sebenarnya kita sedang berhadapan dengan 'waktu', satu-satunya hal eksak di bumi selain uang. Dan karena ulah si 'waktu', perkara 'hati' dalam 'comfort zone' biasanya semakin rumit. Terlalu lama atau terlalu cepatnya dialog antara hati dengan otak, bukanlah suatu ukuran pasti yang akan membawa sesuatu menjadi 'tepat'. Disaat kita nyaman dengan suatu kondisi - apapun itu/siapa pun itu - biasanya 'peduli setan' walaupun ada petir samping kuping, atau ada anjing pitbull depan mata - semuanya ga kedengeran, semuanya ga kelihatan. Semua itu ga ada apa-apanya dibanding nilai rasa nyaman yang lagi kita rasakan. Tapi disaat hati dan otak mulai kompromi, dengan mudah terkadang kita tahu bahwa yang sedang kita pertahankan itu adalah sesuatu yang tidak tepat. Dan ngomong-ngomong perkara 'waktu', pertanyaannya adalah; "sampai kapan kita akan membawa 'ketidak-tepatan' itu?".

Banyak sekali pembelaan yang kita rangkai hanya untuk terlihat 'tepat'. Selalu berlindung dibalik kata 'hati' / berlindung dibalik kata 'kriteria' / berlindung pada anggapan, harapan, dan 'mencoba/memberi kesempatan kedua', dll - ketika kita mengerti bahwa pasangan kita tidak seperti yang kita butuhkan, ketika kita berfikir bahwa kita layak untuk mendapatkan orang yang lebih baik dari 'dia', ketika kita 'terlanjur sayang' pada orang yang salah, ketika kondisi tidak memungkinkan untuk terus 'berjalan'. Kondisi itu kita pertahankan dengan segala pembelaan untuk meyakinkan orang lain bahwa kita sedang melakukan hal yang tepat. Seakan pikiran telah jauh berlari sementara 'fisiknya' tidak bergerak sedikitpun - atau layaknya orang yang berenang di pantai dan melihat sirip ikah hiu menuju kearahnya, tapi doi berenang gaya punggung sambil siul-siul. 'Keenakan', atau bahasa 'dangdutnya' terlena. Atau boleh ngga kalau gua bilang sebenernya kita 'terlalu takut' untuk mengambil sebuah resiko - terlalu takut untuk 'kehilangan' - terlalu takut untuk 'memulai lagi' - terlalu takut untuk 'berbeda pandangan dengan orang lain' - terlalu takut untuk sama seperti orang lain - terlalu takut untuk 'dikucilkan komunitas' - terlalu takut untuk 'sendiri' - terlalu takut untuk 'terlalu takut' - terlalu takut untuk 'tidak tepat'. Mungkin kalau orang yang masih skeptis, bilangnya; "gua bukannya takut, tapi males", a.k.a 'sama aja'.

Pernah ga Lo liat, let say temen SMA deh.. dulunya ngeband di PENSI, gondrong, lulus SMA bareng, beler, jago brantem (katanya), ngomongin politik, ngakalin cewe mulu, dll - suatu saat Lo ketemu lagi dan ngobrol banyak. Dari terakhir Lo ketemu dia 5 tahun yang lalu, kondisi doi masih sama persis, cuma bedanya kalau dulu main di PENSI, sekarang mulai tertarik nge-DJ. Atau, ketika Lo berperan jadi temen curhat yang baik, temen Lo mewek abis-abisan gara-gara (katanya) cowonya bajingan - dia ini itu ini itu ngak ngak nguk nguk,,, dan 3 bulan kemudian doi telepon Lo lagi ngulang cerita yang sama dengan cowo yang sama. Atau, ketika Lo punya segudang cita-cita dan 'kayaknya' memang tau gimana caranya untuk sampai ke situ, tapi disaat kembali ke 'dunia nyata' ternyata skripsi Lo yang ditunda-tunda mulu itu blom juga dimulai. Ibarat baris mungkin itu yang namanya 'istirahat ditempat'. Sering banget kita lihat orang yang kenceng banget perjalanan hidupnya, padahal dulu mulainya bareng. Banyak kita lihat 'teman sebangku' yang sekarang udah bisa beli mobil sendiri - bisa berkarya dan punya 'nama' - bisa punya hubungan serius dan berani untuk menikah, dll. Hehehe,, pertanyaan besar dari hal ini mungkin; "anjing, gua ngapain aja selama ini?". Kalo kata buku Taxi Driver Wisdom, "If someone get rich, I do not cheer for them. I weep for myself".

Tapi dibalik itu semua, kita selalu mikir kalau itu cuma impian. Ujung-ujungnya kita biasanya memilih untuk sesuatu yang 'pasti-pasti aja'. Ga ada yang salah dengan itu. Ya maklum aja, namanya juga obrolan iseng - cuma iseng doang mikir; "mungkin ga ya kalau gua berhenti ngeband, kali aja kuliah gua bisa beres?" - "mungkin ga ya kalau gua cari kerjaan yang bener, kali aja gua bisa nabung?" - "mungkin ga ya kalau gua pindah kantor, kali aja gaji gua lebih bagus?" - "mungkin ga ya kalau gua putusin 'dia', kali aja pacar baru bisa bikin gua lebih seneng?" - "mungkin ga ya kalau gua bla bla bla, kali aja gua bisa bla bla bla?". Jadi, kapan dong bisa berubah, berubah jadi orang yang ada di pikiran kita masing-masing.

Kayaknya udah terlalu capek buat nyalahin nasib yah, bukan nasib soalnya yang jadi masalah, tapi kita emang sama sekali ga bergerak. Comfort zone emang ternyata berbahaya, karena punya musuh yang namanya, waktu. Tapi lagi-lagi ada pertanyaan besar; "kapan gua bisa bilang sekarang waktu yang tepat?", dan "kapan gua bisa bilang sekarang belum saatnya?". Kalau kata Mario Teguh, "ga ada orang yang bisa 'sampai' hanya karena pikirannya, jadi bertindaklah". Tapi kalau kata Another Fuckin' Reality, "ngopi dulu aahhh" - kali aja klo udah ngopi pikiran jadi lebih jernih - dan jadi bisa bilang; "If it has to be, it is up to me".